Hammockers Indonesia, TOURING on the go

Upoh-BPJ Ancol: Tingkatan Seru Curug Cibengang Jonggol

Entah apa yang terpikir di otakku kala itu. Seharian, tidak! 2 hari bersama Keluarga Upoh kecil karena hanya 3 anggotanya saja yang berangkat dengan 1 teman main seblay. Hari berikutnya, keluarga lainnya, BPJ Ancol yang aku baru saja bermain bersama, sudah mengajakku kembali kesana. Tempat yang sama, keluarga serta cerita berbeda. Senang, sedih, atau pelajarankah?
(Doc and taken by Alan)
(Doc and taken by Alan)
***

Jonggol
31 Desember 2015 & 1 Januari 2016

Tentang Upoh dan BPJ Ancol

Jelasin sedikit ahh…

Keluarga Upoh adalah dimana personilnya terdiri dari teman-teman yang mempunyai kesamaan hobi menggantung dan suka bertualang atau traveling. Sekarang sebutan kerennya hammock. Kami semua tergabung dalam komunitas Hammockers Indonesia (HI).

Aku lumayan lama berada dalam ruang lingkup Hammockers Indonesia ini sejak ikut dalam Gathering Nasional di CIkole, Lembang, Bandung, pertengahan tahun lalu (2015).

Kecemplung di Keluarga Upoh karena kedekatan dengan member HI Regional Jakarta yang sering berkumpul di GBK Pintu 9, Masjid Al-Bina. Tempat berkumpul ini akhirnya kami sebut sebagai basecamp.

Sedangkan Keluarga BPJ Ancol adalah dimana personilnya terdiri dari teman-teman Backpacker Jakarta yang pun mempunyai kesamaan hobi senang melakukan traveling kemana-mana hatinya senang dengan budjet yang minim.

Aku yang tak sengaja bisa masuk dalam lingkup BPJ pun karena Adit, teman tektok gunung yang kenal di tektok 3 gunung Purwakarta. Awal mulanya sih sewaktu kumpul dengan rencana kemping ceria di Ancol. Hhhehee… ini cerita begadang yang belum kututilis, kan? Nanti yaaaa…

Sekarang mah kita cerita curug saja, okeeeee 😀

***

Ayok Main Air

Hari kedua di Jonggol, Ioh, Alan, Fian dan aku berencana bermain air. Eksplore curug. Sebelumnya kami sudah berbincang dengan pemilik warung bale bambu dimana kami menumpang menginap. Selain itu, Ioh yang main ke warung sebelah pun sudah melihat peta yang terpampang disana. Sayang aku tidak memotretnya.

Dan aku jadi tertawa ketika dalam japrian Ioh bilang, “Huaaaa.. Ejay kenapa ngga di foto kalau mau nulis?”

Ahhahahah… itu sahabat seblay yang kocak memang begitu. Riuh, tapi semua omongan serta kecepatan jarinya dalam berwasap yang tak terbendung memang benar sih. Cuma saja, bawaan langit mendung serta gerimis halus disana, membuatku malas bergerak. Kecuali berusaha mencari sinyal memberi kabar kepada orangtuaku soal ketidakpulangan disebabkan turun dari Gunung Batu yang terlalu larut, hujan juga lampu motor Ioh yang ternyata mati!
*beeeehhh seblay -_-

Ehh lanjut ceritanya.

Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB. Aku mengingatkan rencana main ke curug supaya tidak kesiangan (lagi). Kalau ngga begitu mah, bisa lama euy dan nanti kan jadi molor (mundur) lagi dah.

Dari gerbang pos 2 menuju Gunung Batu di pertigaan bawah (sehari setelah kami naik Gunung Batu), motor beriringan. Hanya mengikuti jalan beraspal saja. Turun, naik diaspal yang bagus. Kami melewati Gunung Batu di sisi lainnya. Turunan itu menunjukkan keindahan bebatuannya. Gagah. Ahh.. posisi bagus untuk memotretnya, tetapi aku hanya menikmati suguhan langit yang diberikan saat itu dari boncengan motor saja.

“Alan, Alaaaann… bagus bangeeeettt…” panjang ucapku. Karena kami menanjak malam dan berkabut, jadi aku tidak melihat terlalu banyak, seperti apa pemandangan di gunung tersebut. Hanya sebelum maghribnya saja dan sedikit terang aku melihatnya.

“Ejay mau foto?” tanyanya memelankan laju kendaraan.

“Ngga usah, Lan. Jalan saja,” aku meyakinkan bahwa aku tidak ingin memotretnya.

Gunung Batu sisi lain (doc Aditya)
Gunung Batu sisi lain
(doc Aditya)

Kemudian aku kembali melewati sisi lainnya yang seperti jari jempol. Memang tidak memotretnya ketika bersama Upoh, namun sempat berhenti sewaktu BPJ Ancol kesana. Aku memperlihatkan sisi menarik itu dan mereka sempat berfoto (tanpa aku! hiiikkss…) disana. Haahaha… lucu deh. Karena BPJ Ancol ini berlomba memanjat agar bisa berfoto. Aku tergelak melihat tingkah mereka.

Keluarga berisik lainnya. (doc Debi)
Keluarga berisik lainnya.
(doc Debi)

Jika bersama Upoh, kami selalu saja berkendaraan secara wush, wush, wuuuussshhhh…. lain halnya dengan BPJ Ancol yang jalan santai. Sampai-sampai kadang bisa berhenti lama untuk menunggu rombongan belakang.

Eh iya, kalau di BPJ Ancol, waktu itu aku bersama Dwi, Debi, Adit, Rangga, Arif, Andri, Angga, Kamil. Itu yang motoran. Adalagi yang menyusul dengan mobil, yakni Dillah, Takin, Kiki, adeuh.. lupa deh siapa ya 2-3 orang lagi? Nanti ya Ejie tanyain…. Kita pergi di hari berbeda sih.

***

Hore Curug

Penunjuk jalan Curug Cibengang, di kiri jalan dari arah perempatan jalan Gunung Batu 3, Gunung Batu 1,2, Sukamakmur. (doc pribadi)
Penunjuk jalan Curug Cibengang, di kiri jalan dari arah perempatan jalan Gunung Batu 3, Gunung Batu 1,2, Sukamakmur.
(doc pribadi)

Kami melewati tongkrongan orang yang entahlah, itu untuk perbaikan jalan atau sekadar bayaran tanda masuk serelanya. Jalan lagi dan melewati masjid, lalu perempatan dengan plang bertuliskan Gunung Batu 3, serta Gunung Batu, 1,2 Sukamakmur.

Hei, ternyata nama jalan menuju ke curug itu adalah nama curugnya, Cibengang. Letaknya disebelah kiri jalan dari datang pos 2 Gunung Batu tadi. Ngga sampai 1 jam deh kesana. Kami kembali melewati jalan dengan pecahan batu sungai. Ada cabang 2, ambil ke kiri atau tanyakan pada warga sekitar, mereka akan mengarahkan. Ikuti saja jalur pecahan batunya sampai di parkiran.

Tiket masuk per orangnya Rp 5.000,- sedangkan parkir motor dikenakan Rp 10.000,- per kendaraan.

Untuk mencapai lokasi curug dimaksud, kami harus menyeberangi sungai dengan menapaki bebatuan yang sepertinya sudah disusun agar bisa menyebrang dengan aman. Kalaupun ingin berbasah-basahan, ya tidak apa kok langsung berjalan di aliran airnya. Tingginya sebetis kaki orang dewasa.

Melalui hamparan sawah yang baru ditanami padi. Melihat kesibukan para petani yang membajak, mencangkul atau mematok padi ke dalam lumpur, mungkin satu pemandangan yang hampir tidak ada di perkotaan. Aku sudah tidak terlalu mempedulikan, apakah sepatu yang kugunakan akan basah atau tidak. Terang saja, karena seharian, kami belum mandi sejak naik gunung kemarin dan bermalam di warung bale bambu tersebut. Hhahhhaa…

Keluarga Upoh (doc Alan)
Keluarga Upoh
(doc Alan)

Melintasi persawahan yang masih didominasi hamparan coklat, mendengar gemericik air yang membelah sawah, senang! Kecipak-kecipuk langkah kami diiringi tawa dan sesekali berhenti sekadar mengambil gambar kebersamaan. Ahh… Upoh itu memang keluarga konyol yang selalu dipenuhi tawa ya? Nanti lain kali harus datang lengkap kalau kesana.

Beda lagi dengan celotehan-celotehan ramai BPJ Ancol di hari lainnya. Aku yang sudah lebih paham pijakan mana yang harus kuambil, jauh lebih sigap dari pertama kali datang kesana. Langkahku lebih pasti dan tanpa ragu. Arif si kijang itu bahkan mengambil jalur berbeda mengitari sisi lain sawah. Kemudian berlari ke atas, balapan dengan Rangga juga Arifin, adik angkat (warga desa tersebut) yang mengingatku karena sudah pernah berkunjung kesana bersama Upoh.

Ioh dan Fian di jalan setapak menjelang belokan melipir ke kanan. (doc pribadi)
Ioh dan Fian di jalan setapak menjelang belokan melipir ke kanan.
(doc pribadi)

Aliran sungai, sawah dan jalan setapak yang mengarah ke saung merah. Udara dan langit cerah ketika aku bersama Upoh menjalaninya. Kami berjalan santai. Kanan kiri jalan ini penuh hijau tanaman. Tanah merah yang landai, kadang berundak karena sedikit naik menuntun kami hingga ke dua cabang. Aku masih ingat ucapan warga di parkiran tadi. Ambil jalan kanan yang melipir, bukan tangga tanah yang ke atas.

“Ejay, kita kemana?” Ioh bersuara.

“Kanan, Yoh…”

Ioh mempercepat langkahnya. Dibelokan dan turunan, aku melihat sebuah dudukan bambu diatas tebing. Ia berlari kesana dan berjalan pelan diatasnya.

“Ejay, potoin!” Ckckkkkck… seblay yang aktif 🙂

Ioh, sweeper sahabat seblay yang atraktif. (doc pribadi)
Ioh, sweeper sahabat seblay yang atraktif.
(doc pribadi)

Hari pertama kesana bersama Upoh, aku bilang hati-hati pada Ioh yang mau berfoto disana, karena bambu itu terlihat sudah tidak begitu kokoh. Tetapi hal berbeda justru terjadi ketika aku bersama keluarga BPJ Ancol kesana. Satu rombongan sekitar 10 orang duduk lesehan sambil bermain gitar disana. Huuaaaa… serem! Saking nganganya, aku hanya melihat rombongan itu dan terus berjalan mengejar Dwi yang sudah berada di depan.

Jalan bertanah merah ini menuruni undakan. Kanan mengarah ke air curug terakhir dan bisa mandi dengan tempat yang terlihat lebih lega dari atasnya. Mataku mengarah ke sisi kiri atas, dimana sudah ada seblay disana. Aku melihat jalan kecil dimana harus merapatkan badan ke sisi batunya, dan berjalan memegang batang dan cekukan diantara bebatuan yang ada agar bisa mencapai tempat Ioh.

Untungnya curug yang kami datangi itu belumlah terlalu ramai. Aku rasa sih karena kami bermain bukan di libur panjang maupun tanggal merah, makanya curug masih sepi dari para pengunjung yang haus akan liburan.

Di tingkat kedua ini, batuan curugnya lebih lebar. Jatuhan air pada bebatuan atas juga lebih bagus. Ada 3 jatuhan air dibelakangku. 2 diantaranya, jatuhan yang deras terdapat di kanan kiri dengan batu-batuan dinding kokoh serta tanaman yang tumbuh dan merambat disana. Sedangkan posisi tengah, jatuhan airnya terlihat lebih teratur dengan batu-batu tersusun rapi layaknya rumah-rumah gedongan yang membuat pancuran air terjun.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Harus hati-hati juga berjalan disana. Batuan yang terkena percikan airnya, licin dan menjadi berlumut. Bila dekat dengan rindangnya pohon dan tanaman, maka sinar matahari tidak mencapai bebatuan yang terkena percikan tersebut. Berpenganlah jika berjalan disana.

 

Oia, di spot kedua ini, kami juga berusaha mencari tempat untuk menggantung hammock. Ioh dan Alan sibuk mencari sudut juga cekukan diantara batu yang ada serta pepohonan. Karena memikirkan keamanan juga, maka tidaklah mudah mencari spot bagus untuk menggantung. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Karena alat yang tidak mendukung, kami pun memutuskan untuk tidak melanjutkan aksi menggantung tersebut.

***

Curug Tenang di Tingkat 3

Ada jalan kecil dimana kami bisa naik ke curug tingkat ketiga. Curug mulai mengecil dengan air yang berwarna kehijauan. Entahlah, kami tidak mencoba menceburkan diri di dalamnya. Air hijau yang butek? Aku teringat air serupa di dekat Segara Anak. Hijau dan dalam. Jadi tidak ada niat kami untuk sekadar mencoba berenang disana. Terlebih tempat tersebut sepi.

***

Aliran Deras Curug Keempat

Curug keempat. (doc Aditya)
Curug keempat.
(doc Aditya)

Tingkatan curug ketiga menuju keempat ini, jalannya sedikit melalui batuan basah yang aliri jatuhan halus air terjunnya. Lumayan licin dan harus berpegangan pas agar tidak terperosok jatuh. Mungkin biasa saja sih.. tapi licin.

Naik ke atas akan terlihat kolam kecil di kanannya, kemudian akan menjumpai area terang. Lebih sempit tempatnya dari curug dibawahnya tadi.

Air di curug keempat ini lumayan deras. Ada batu besar berlumut di tengah yang membuat aliran di kiri jalannya cukup deras. Jika ingin ke atas, kita berjalan melewati air deras tersebut. Airnya sebatas mata kaki.

Aku lebih senang memakai sepatu sih. Ngga apa basah sepatunya. Soalnya jauh lebih aman. Walaupun menggunakan sandal gunung, tapi sedikit ngeri, licin.

***

Perosotan di Curug Kelima

Kami melanjutkan ke curug tingkat kelima. Disana mendekati sunyi. Turunan airnya lebih halus. Bisa dipakai sebagai tempat bermain perosotan. Sepertinya sedikit licin karena berlumut. Ioh, Alan dan Fian tidak ada yang mau turun berbasah-basahan. Huaaaahhh.. payah mereka! Alan sih sebenarnya mau, tapi karena tidak ada yang mau turun, ya kami jelas mengurungkan niat berbasah-basahan. Ahh, lesu! -_-

Selanjutnya aku tidak melanjutkan perjalanan. Stuck di curug tingkat keempat. Sesuatu menahan langkahku hingga aku menyurut dan hanya terduduk di batu yang disinari matahari saja. Ioh menyusur hingga ke titik akhir. Suasana lengang, kami memanggil-manggil Ioh yang tidak terdengar suaranya. Lalu ia muncul dengan cengirannya yang biasa kulihat. Hhhahhaa…

Menuju curug terakhir dari curug keempat. (doc Aditya)
Menuju curug terakhir dari curug keempat.
(doc Aditya)

Karena penasaran dengan susur curug yang Ioh lakukan sebelumnya, hari bersama BPJ Ancol, aku mengikuti jejak Ioh. Naik ke curug tingkat kelima. Gelap, dingin, terkesan lembab dan sunyi. Tidak ada suara apapun disana, kecuali gemericik air. Tenang, tetapi terasa lain. Aku mengucap salam dalam hati. Kuperhatikan kanan kiriku, tetapi tak kuasa melihat lebih jauh. Terunduk. Dan aku hanya terdiam. Memainkan air dimana kakiku berpijak.

Hanya bisa sampai disini. (doc Aditya)
Hanya bisa sampai disini.
(doc Aditya)

Di curug tingkat kelima ini, persis seperti Arifin, adik angkatku bercerita. Bahwa ini adalah curug terakhir yang hanya berupa kolam kecil. Airnya jauh lebih bersih ketimbang curug-curug yang ada di tingkat bawahnya. Terlihat jarang sekali orang berjalan hingga titik tersebut. Batu di tengah antara batas kolam kecil dan hutan di belakang sana, aku kembali terdiam. Bermain air hanya di sekitar batu itu tanpa berani bergerak terus ke arah Adit yang menemaniku.

Adit santai berjalan hingga ke balik bebatuan besar di ujung. Sebentar tak terlihat, lalu muncul.

“Ada apa disana, Dit?” penasaran, tapi tak berkutik.

“Curugnya habis, Kak Ejie. Sungai kecil terbelah jadi dua aliran. Terus hutan-hutan begitu. Sudah, itu saja,” jelasnya. Aku hanya bergumam dan mengajaknya turun.

Lain Upoh, lain pula BPJ Ancol. Tak ragu, Adit kusuruh bergaya di curug berperosotan itu. Ia berenang disana. Airnya sebatas pinggang orang dewasa. Sejuk dan segar!

Tak lama, Dillah dan rombongan mobil BPJ menyusul lainnya muncul dan suasana mulai ceria. Hahhahahaaa.. beruntung. Menutupi sedikit gelisahku yang sudah mulai hadir kala itu. Aku ngakak melihat mereka yang melompat tinggi di bebatuan lalu terjun ke airnya.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Kabut, mendung lalu hujan!

Tergopoh-gopoh kami semua bergegas meninggalkan lokasi tersebut hingga ke bawah. Ahh… hujan kerap membawa kisah berbeda. Kisah Upoh yang cerah dan kisah BPJ Ancol yang terjerat hujan di saung merah. Kemudian aku dan rasa yang tertinggal disana. Sudahlah, bukankah masing-masing petualangan memiliki kisah yang tak semuanya harus diungkap? Hanya aku, air dan batu-batu diam disana saja yang merasakan. Selanjutnya, biarkan alam yang akan menuntunmu bercerita.

Selamat berpetualang, sahabat 🙂 (jie)

***

6 tanggapan untuk “Upoh-BPJ Ancol: Tingkatan Seru Curug Cibengang Jonggol”

Tinggalkan komentar