TOURING on the go

Eksplore Curug Legenda Cipamingkis Jonggol

Cerita yang masih di seputaran Jonggol. Diskusi mendadak, jalan, lalu main curug. Enak, ngga ribet. Hitungan 2 kali main air di Jonggol dengan tempat berbeda. Oia, dan masih penasaran karena belum juga tercapai keinginan pasang hammock di curug! Hhahhaaa… kapan kesampaian ya?
The campcer BPJ (doc Aditya Dede)
The campcer BPJ
(doc Aditya Dede)
***

Jonggol
Januari 17, 2016

Jalur Zonk

Pukul 08.00 Wib

Berangkat kali ini, 1 jam lebih cepat dari main curug pertama kalinya, Curug Cibengang. Jarak tempuh ya lumayan deh. Info curug ini kami peroleh dari Ucup, teman BPJ (Backpaker Jakarta) yang malam itu ikut berkumpul bersama. Sebenarnya info yang menyesatkan, karena ia tidak menyebutkan tepatnya akan ke curug mana. Dan tahukah? Ucup tidak ikut dalam perjalanan kami ini, the campcer (para penyuka kemping ceria). Jadi kami hanya mereka-reka lokasinya saja. Hhhehehe…

Jalur yang kami lalui adalah:

Jakarta-Jl. Raya Bogor-Cibinong-Citereup-Pinus, Jonggol

Huaaaa… setelah tahu kalau ternyata jalur itu mengarah ke Jonggol, karena aku banyak bertanya kepada bapak-bapak dan aa’ di sekitar lokasi makan daerah Citeureup, yaaaa…. ketawa dulu deh kita. Hmm.. jauh begini, mending kan lewat jalur Cibubur-Cileungsi saja kan ya? Huuuftt.. Parah Ucup dah -_-

Heiiiiii.... sehat-sehat ya kamu! (doc Aditya Dede, taken by me)
Pemandangan dari Citeureup. Heiiiiii…. sehat-sehat ya kamu!
(doc Aditya Dede, taken by me)

Ehh, tapi ya ngga apa deh. Dibalik semua perjalanan jauh itu, ada pemandangan pantas bagi mata minusku ini. Jajaran bukit atau pegunungan yang diseberangan sana, membuatku cukup berterima kasih bisa melihatnya dalam bentuk lain. Ahh…. jauh.

***

Jalur Cipamingkis

Rombongan motor campcer kali itu adalah:

  1. Debi-Dwi
  2. Rangga-Evi
  3. Rizal
  4. Arif-Wiwit
  5. Adit-Ejie

Kami berjalan santai, ya ngga juga sih, karena beberapa kali Debi mengingatkan kami (Adit, Rizal dan aku) yang di depan agar memelankan laju kendaraan motor. Dari Citeureup, kami berjalan lagi ke arah Cibadak. Nanti ketemu pertigaan pertama yang mengarah ke Leuwi Hejo (kanan atas, jangan kesana), kita ambil yang lurus sedikit ke kiri. Ikuti saja jalurnya. Sampai di pertigaan kedua, ambillah jalur ke kanan, Pinus.

Untuk ke Pinus masih jalan lagi mengikuti jalur. Kira-kira 30 menit kalau normal ke arah pertigaan plang yang mengarahkan ke jalur curug dan Gunung Batu.

Di pertigaan tersebut, ada plang penunjuk jalur:

  1. Curug Ciherang 4 km
  2. Curug Cipamingkis 4,8 km
  3. Gunung Batu 4,2 km
  4. Cariu 19 km

Perjalanan Jakarta-Curug Cipamingkis dengan jalur dari Citeureup ini senormalnya kalau berkendaraan motor, mungkin sekitar 2-3 jam. Tapi karena kami jalan santai, makan dan istirahat ngopi di perjalanan, ya 4 jam lah sampai disana. Lama banget? He-eh 😀

Berikut adalah bukan itinerary, tapi catatan waktu yang dirangkum Rizal dan Dwi ketika aku menuliskan perjalanan ke curug 😀 :

08:00 Berangkat dari beskem Rangga
08:30 Pom bensin Raya Bogor
10:45 Sampai di pertigaan antara Curug Ciherang dan Curug Cipamingkis
11:00 Rombongan Dwi ngopi (motor bermasalah), Adit turun
11:30 Adit sampai warung singgah, dimana Rizal dan Ejie nungguin, ngantuk
12:00 Cus, duluan ke sampai parkiran Curug Cipamingkis
12:30 Pasang hemok, nungguin rombongan ngopi datang
12:45 Treking curug
12:45 Main curug
13:30 Explore curug atas
14:00 Main curug lagi

Pintu masuknya berupa pos registrasi. Karena sudah ingin duduk santai di hammock, aku tidak terlalu memperhatikan registrasi masuk Curug Cipamingkis yang terpampang. Aku hanya ingat, 1 motor berisi 2 orang langsung di plot Rp 25.000,- sedangkan Rizal yang sendiri dikenakan Rp 15.000,- dan parkiran motor, kami dikenakan Rp 2.000,- per motornya.

Tersedia warung-warung makan, bakso motor, saung beristirahat, air mancur kecil, musholla dan toilet. Fasilitas umumnya lumayan lengkap. Untuk jajanan ya disarankan membawa bekal saja. Bakso motor sih lumayan harganya Rp 10.000,- kata Rangga yang sempat makan bakso setelah mengganti pakaiannya.

***

Curug Anteng

Main di curug bawah (doc Aditya Dede, taken by Wiwit)
Main di curug bawah
(doc Aditya Dede, taken by Wiwit)

Curug Cipamingkis ini juga bertingkat. Paling bawah, airnya lebih tenang. Tidak jauh dari parkiran luas mobil yang kalau aku bilang sih, bisa dijadikan arena camping ground. Soalnya lumayan juga loh. Mana ada pohon-pohon pula. Kan lumayan bisa buat ngegantung hammock deh. Hhehehe…

Letak curug beraliran lumayan tenang ini, dekat batu-batu besar yang banyak dijadikan pusat selfie dan mengabadikan gambar bersama teman. Wiwit mengambil gambar Adit disana. Aku pun ikut memotret Adit, sang photographer campcer. Kali ini, dia yang paling eksis.

Kebun bunga (doc taken by Avrizal)
Kebun bunga
(doc taken by Avrizal)

Di dekatnya selain batu-batu besar selfie, ada beberapa jajaran tanaman berwarna disana. Rizal memotretku. Katanya spot tanaman berwarna itu bagus. Ya lumayanlah, karena kali itu, entah kenapa, aku tak terlalu bermain air. Padahal aku paling antusias loh kalau ketemu air sejuk seperti itu.

Di spot ini kami merebus air dan menyeduh kopi yang kami bawa. Camilan yang hanya tinggal kacang pun ludes dilahap. Lapar!

Yang sendirian napa deh? (doc Aditya Dede, taken by Wiwit)
Yang sendirian napa deh?
(doc Aditya Dede, taken by Wiwit)

Tidak jauh dari batu besar, ada curug yang sedikit luas dan jatuhannya lebih pendek-pendek. Kami melewatinya dan tidak memotret juga. Soalnya lumayan ramai disana. Treking sedikit ke atas dan akan menemukan curug yang ternyata adalah pusatnya. Woohh.. lebih ramai lagi ternyata.

Ada jembatan bambu buatan disana. Hanya bisa dilalui oleh maksimal 10 orang saja. Diseberang atas, tampak sebuah booth alami lokal yang memberikan jasa photo dan cetak A4. Kreatif kan ya? Per photonya 10 ribu sudah berikut dicetak.

Menurut legenda yang ada di plang bawah, dekat parkir motor, bila ada yang mandi di bawah curahan air curug ini dengan niat mencari jodoh di curug ini, maka yang dikehendakinya akan kesampaian. Ya kita tidak tahu apakah legenda tersebut benar atau tidak adanya. Tergantung bagaimana kita menyikapinya saja, kan?

Curug Cipamingkis dari arah photo booth (doc and taken by Aditya Dede)
Curug Cipamingkis dari arah photo booth
(doc and taken by Aditya Dede)

Curug ini mungkin saja merupakan tingkatan paling akhir. Karena paling deras jatuhan airnya. Selain itu, Ketinggiannya juga berbeda dari curug-curug dibawahnya. Dan disinilah yang paling ramai pengunjung.

***

Eksplore Curug

Ketika yang lain masih asik bermain air, aku yang selalu kebiasaan ingin eksplore curug, berkali-kali melirik ke arah atas curug yang tak tampak jalur lainnya. Kulayangkan pandang ke arah lainnya, disisi kiri, mencari celah yang bisa membawaku kesana. Adit membaca arah mataku.

Setelah melewati saung reyot (doc and taken Aditya Dede)
Setelah melewati saung reyot
(doc and taken Aditya Dede)

“Kak Ejay mau coba ke atas?” ia bertanya.

“Yuk, Dit….” aku menggangguk mengiyakan.

“Ehh, ikut…. mau jemput handphone yang dibawa Wiwit!” seru Rizal.

Bertiga kami menaiki undakan yang terbuat alami disana, menyusul Arif dan Wiwit yang sudah terlebih dahulu ke atas. Tangganya berupa batu-batu kali yang ada disana, dibentuk memenuhi tangga. Sepertinya agak jarang dilalui sih. Ehh, harus hati-hati juga. Soalnya kami menemukan jebakan betmen disana. Iyuuuhhh… entah siapa yang sembarangan BAB disana, jorok dan kami menutup hidung menghindari aroma tidak sedap tersebut.

10 menit ke atas. Di ujung kiri atas, ada sebuah saung yang tidak terpakai(terurus) lagi. Kumuh dan sudah reyot. Kami berjalan mengikuti jalan setapak dimana kanan kirinya penuh rumput dan tanaman. Adit memanggil-manggil Wiwit dan Arif karena tidak terlihat keberadaannya. Sedikit mulai menuruni tebing dan menjauhi curug, aku angkat bicara.

“Mereka ngga ada disini, Dit. Soalnya kita menjauhi curug dan tidak terdengar aliran air disini. Coba kita keatas dan cari di sebelah kanan tadi saja,” saranku.

Putar balik mendekati saung kumuh dan sebuah teriakan yang kudengar memanggilku, “Kak Ejaaaayy..” Hahhahhaa iya, itu suara lantang Wiwit yang memanggilku. Ia mengarahkan agar kami ke arah danau/kolam kecil yang ada di kiri jalan kami. Turun ke arah kolam berair hijau keruh itu, lalu naik.

Huaahhh! Jalan yang kemungkinan juga sangat jarang dilalui oleh siapapun. Entah kalau penduduk setempat ya yang mendaki ke atas tempat kami saat itu berada.

Hmmm… tiba diatas, Wiwit dan Arif sudah menunggu kami. Kembali Adit saja yang meneruskan eksplore hingga titik dimana Arif dan Wiwit tadi. Menurut mereka, hanya bebas memandang saja ke bawah dan barisan bukit yang ada. Jalan ke arah jatuhan air curug tidaklah terlihat. Adit turun dan bergabung bersama kami di dataran sempit dimana ada sebatang dahan yang bisa kupakai untuk duduk dan sedikit tempat untuk bergerombol. Dwi, Debi dan Evi pun ikut menyusul kami karena ingin melihat ada apa diatas sini.

Kami bercerita tak kurang dari 15 menit dan segera turun ke curug kembali dan memutuskan turun serta bermain air lagi di curug bawah. Menyeduh kopi, makan dan bercerita.

Perjalanan curug kali ini ditutup dengan hujan yang tak henti-hentinya menemani kami selama pulang. Sepertinya, hujan adalah sahabat kami tiap kali bermain air di curug. Mungkin karena kami senang akan air ya, jadi ia selalu ada tiap kami bersama. Bukankah hujan adalah anugerah? Anugerah bagi umur persahabatan kita yang baru saja dimulai dari kesukaan akan air. Semoga kita selalu bersama ya, teman-teman sayang…. 😉 (jie)

***

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

 

Tinggalkan komentar